Saudaraku sekalian, dalam kesempatan kali ini saya akan mengajak Anda untuk
kembali mengulik sejarah orang-orang shalih terdahulu. Ini bertujuan agar kita
bisa mengambil banyak pelajaran dan ilmunya. Dan untuk pembahasan kali ini,
maka kita akan lebih jauh mengenali sosok Imam Ali bin Abi Thalib RA. Seorang
sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah Muhammad SAW. Tentang betapa luas
dan tingginya ilmu yang beliau miliki. Juga mengenai kecerdasan dan daya
ingatnya terhadap informasi dan pengetahuan dari Rasulullah SAW dan tentunya
Allah SWT.
Nah, untuk mempersingkat waktu, mari ikuti penelurusan berikut ini:
Di kala Umar bin Khaththab RA memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin,
pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada
Khalifah: “Hai Khalifah Umar, Anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad
dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting
kepada Anda. Jika Anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau
mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar
seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa
agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah
Umar RA.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah
itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan
kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya,
apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi
peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan
kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi,
tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau
induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak)
di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia
sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang
dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar RA menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian
berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan
yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang
bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: “Sekarang kami
bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah
bathil!”
Salman Al-Farisi RA yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib RA. Setelah bertemu, Salman
berkata: “Ya Abul Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali RA bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman RA kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar
Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar RA,
berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher)
peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib RA datang,
ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: “Ya Abul
Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib RA herkata: “Silakan kalian bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW. sudah mengajarku seribu macam
ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib RA berkata: “Aku ingin mengajukan suatu
syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib RA.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing
pintu-pintu langit?”
Jawab Imam Ali RA: “Induk kunci itu ialah syirik kepada Allah. Sebab semua
hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya
tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka
pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata:
“Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut: “Terangkanlah kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus AS putera Matta. Nabi
Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!” jawab Ali bin Abi Thalib RA.
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada kami
tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk
itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib RA menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman
putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: “Hai para
semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak
satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya
atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua,
Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat
Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali RA lalu
mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang
sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih
ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali RA.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah
mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana
hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib RA menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para
penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada
Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an
kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama
mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing
mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai
akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan
perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia
berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu
pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu
berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja
itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus
bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana
itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun
istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh
(sekitar 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah
seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu
buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada
rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan
sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang
cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: “Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu
dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu terbuat
dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan
mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan
malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan
gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari
emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga
mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan
menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan
apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu
selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang
tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang
kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi
pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali RA menjawab: “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala
urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua
hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja.
Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang
lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya
lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu
terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil
berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya,
sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat
sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu
terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang
harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh
tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah
merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak,
durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi
mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang
siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah
lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti
kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa
mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja
itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah
Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang
hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam
wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh
terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah
kanan – seorang cerdas yang bernama Tamlikha – memperhatikan keadaan sang raja
dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau
Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia
tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu
semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat
salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran
Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah
Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan
minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan
dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang
membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan. “Aku
lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai
atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa
tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan
di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang
bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha
diciumi sambil berkata: “Hai
Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam
hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita
semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan
akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja
pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan
akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan
dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima
orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia
dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita
berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan
jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7
farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki
sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air
minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri
mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan
mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang
terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah
dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya.
Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri
lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib RA memberitahukan, “kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat
seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir
kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada
penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas
dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan
jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku
ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah
aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan
diriku kepada Allah SWT.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi
mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah
gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya
sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali RA menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah
Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib RA meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua
itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan
buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu
malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi
mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk
menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut
supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT
mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri.
Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya
sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya
tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan
diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia
cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan
diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang
pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia
tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak
akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah
menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya
mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat
pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan,
raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun. Setelah masa
yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang
lainnya: “Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata
air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah
mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya.
Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: “Siapakah
di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang
untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya
hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat
untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku
dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota.
Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat
pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan:
“Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata,
lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!” Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota.
Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang
yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang
penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab
penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini sungguh
aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa
Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada
Ali bin Abi Thalib RA: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba
terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali RA menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan
kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru,
ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada
Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan
harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku
hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga
hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau menemukan harta
karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula
engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai
tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah
dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang
baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada
orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun!
Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu
nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita
sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh
Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu.
Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: “Inilah
rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat
lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan
mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat
ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: “Kalian ada perlu
apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah
ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia
bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di
depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah
seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja
durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia lari berlindung kepada
Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada
raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang
sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera
turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang
banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya:
“Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di
dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang
beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan
itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,”
demikian Imam Ali RA melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat
gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: “Aku
khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau
gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal
mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri
yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua.
Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha
dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji dan syukur bagi
Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah
berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun!
Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih
berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung!
Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,”
jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: “Ya Allah,
dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami
tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut
mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa
bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua,
berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa
hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada
saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah SWT Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang
dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah
kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam keadaan
memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati dalam
keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata,
akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah SWT berfirman:
“Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui
bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan
padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka
mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat
mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan
mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para
penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu:
“Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah,
sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abul Hasan, engkau tidak menambah dan tidak
mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku
sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga,
bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!”
*****
Subhanallah… betapa tak terbayangkan jika diri ini bisa berhadapan
langsung dengan Imam Ali RA dan bisa langsung belajar tentang banyak ilmu
kepadanya. Membaca kisah di atas saja sudah cukup menjelaskan bahwa beliau ini
adalah benar sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yaitu sebagai “Pintunya ilmu”.
Terlebih beliau sendiri di ajari langsung oleh Baginda Rasulullah Muhammad SAW
tentang beragam ilmu dan pengetahuan, selain hidayah yang di dapatkan dari
Allah SWT. Sehingga bisa dikatakan bahwa beliau ini adalah cendikiawan Muslim
yang pertama.
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda sambil memegang tangan Ali RA: “Orang ini adalah
pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong siapa
yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya mengeraskan
suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang siapa yang
ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya”
“Engkau (Ali RA) adalah
bagian dariku dan aku adalah bagian darimu” (HR. Al-Bukhari).
Semoga dengan kisah ini, maka sebagai seorang Muslim kita lebih termotivasi
untuk terus mengkaji beragam ilmu yang terbentang luas di jagat raya ini dan
tidak pula melupakan kenangan sejarah kemuliaan dari generasi shalih terdahulu.
Posting Komentar
silahkan komentar sesuka anda!